Saturday, July 01, 2006

 

Komentar tentang UAN (formerly known as EBTANAS ?)

Jadi orang harus mau distandardisasi-Badan standar harus memudahkan

Tahun lalu rasanya sudah mulai banyak orang ribut tentang UAN, banyak yang kontra begitu, dan saya waktu itu 'gak habis pikir:"Kok orang endonesa 'gak mau kemampuannya distandardisasi 'sih?" Banyak diskusi informal yang saya lakukan (baik di warung kopi maupun ruang diskusi di kampus) membahas masalah ini.

Kesimpulan yang saya dapat dari mereka yang Kontra UAN (saya singkat saja menjadi KUAN) adalah materi ujiannya yang perlu ditinjau, apakah siswa yang punya nilai rata-rata dibawah standar pasti lebih goblok?.(ehm maaf). Apalagi jika siswa itu ternyata berasal dari penjuru endonesia yang 'gak punya perpustakaan, apalagi laboratorium yang butuh biaya banyak dan muskil bisa dipenuhi dengan anggaran pendidikan yang minim (belum lagi dikorup). Mana mungkin bentuk ujian yang berbasis hafalan bisa mengukur kemampuan berpikir, dst..dst.dst!

Intinya saya yang Setuju UAN (saya singkat lagi ya jadi SUAN) selalu dipojokkan dalam diskusi-diskusi itu...

Tapi saya tidak menyerah! (walau terlupakan satu tahun) Eh tahun ini ribut-ribut lagi! Ada anak yang sudah ketrima sekolah di Luar Negeri (bukan swasta 'lho) gagal lulus karena nilai matematikanya tidak memenuhi standar... Terus orang-orang pada seru minta ujian ulang...Pak Wapres kita yang imut-imut tidak setuju...Program paket C ternyata pelaksanaan ujiannya gak cocok dengan jadwal penerimaan siswa/mahasiswa baru...kata pejabat Diknas masalahnya ruwet dst..dst.dst.

Ah, saya cuma ingat sama salah satu bentuk standardisasi yang ternyata semua orang bisa setuju: TOEFL (Test Of English as a Foreign Language). Tidak peduli belajar sama siapa, dimana, gratisan atau berbayar, yang penting kalo nilai TOEFL-nya 600 ke atas, pasti lumayan bisa cas cis cus atau setidaknya ngerti dengan baik kalo baca artikel berbahasa inggris.

Nah! Ini dia bentuk pelaksanaan UAN yang cocok bagi hati saya, kenapa:
  1. Tidak mementingkan latar belakang belajarnya, sehingga memacu pembelajaran luar sekolah dna meringankan beban negara dalam menyelenggarakan pendidikan.
  2. Soalnya buanyak (slang "banyak" menurut orang surabaya), jadi walaupun mau menghapal jawaban soal, Insya Allah gak berguna, lebih baik belajar teorinya dengan baik.
  3. Bisa dilakukan kapan saja dan dimana saja (walaupun test International TOEFL setau saya ada jadwalnya dan harus ke Jakarta, mohon koreksi).
  4. Kalau nilainya diragukan, lembaga/sekolah tujuan bisa dengan mudah mengadakan test melalui mitra swasta yang dipercaya.
  5. Murah. Kecuali International TOEFL yang harganya lebih dari sejuta perak (tapi yang ikutan memang hanya mereka yang mau going abroad, dan biasanya dibayarin beasiswa) test macam gini bisa 'cuma' 40-60 ribuan.

Bentar dulu 'Mas! Apa iya UAN bisa diadaken seperti TOEFL gitu?

Menurut logika dan kata hati saya 'mah bisa!

How?
1.
Kuncinya pada dimungkinkannya teknologi Internet sampai ke kota kabupaten seluruh endonesa. Apa hubungannya? Gini...kalo para pendidik negeri ini yang sudah dipercaya bisa bikin soal UAN dengan baik "disuruh"/"dipaksa" bikin soal dengan jumlah yang banyak (sehingga pada tahun pertama bisa terkumpul 100 ribuan soal untuk setiap matapelajaran), kemudian selain di UAN kan dengan cara konvensional juga disimpan dalam database soal yang bisa diakses oleh katakanlah 50 komputer yang online di detiap kota kabupaten, maka siswa yang nilai UAN konvensionalnya rendah bisa ikut test UAN berbasis komputer ini kapan saja (tentunya berbayar dengan nilai rupiah yang logis). Setiap taun soalnya bakalan nambah sehingga jawaban menghafal soal tambah tidak mungkin.

Tanggapan skeptis tentang UAN susulan hanya bikin malas siswa jadi gak berlaku lho. Kita harus bisa terima kalo gak semua orang daya tangkap pelajaran dan ketangguhan psikologinya sama. Selama semangat belajar masih ada, siswa yang nilai UANnya jeblok bisa ikut test lagi sewaktu dia rasa siap. Kalo masih jelek, test lagi, test lagi, test lagi, sampe masuk standar. Saya punya teman yang waktu mau sekolah pascasarjana terhambat di nilai TOEFLnya jeblok banget, terus dia belajar keras dan test berulang-ulang sampe akhirnya nilainya cukup. Apa kita boleh bilang dia males? goblok? Enggak kan...

Bahkan dengan model UAN seperti ini, mereka yang belajar otodidak (banyak lho yang gak percaya sama pendidikan bangsa ini, baik negri maupun swasta sehingga lebih senang belajar di rumah-bahkan beli modul belajar dari luar seharga 2000 dolar per semester!) bisa punya nilai UAN--kalo mau sih.

2.
Pengadaan komputernya gimana? Apa gak bikin pusing dengan segala mark up dan korupsi?

Nah, ini dia peran swasta bisa berperan dalam acara ini. Bukan dimaksudkan dengan swasta bikin ruang test dan komputernya, itu 'mah sama aja dengan tender2an yang penuh mark up dan korupsi itu. Maksud saya adalah melibatkan sekolah/perguruan tinggi yang memang sudah punya komputer banyak (di P.Jawa-Sumatera). Kalau di daerah, ya saya memang belum bisa usul ide selain tender itu (KPK tambah kerjaan ya?) Tapi kalo mau maju memang harus kerja keras!

3.
Apa gak akan di-joki-in?

Saya punya pengalaman waktu sekolah sarjana dulu: 1 angkatan dibawah saya ada yang dicurigai bisa masuk dengan cara di-joki-in. Sulit membuktikannya saat masuk, tapi akhirnya ketauan juga saat nilai ujiannya pada jeblok semua. Departemen memanggil ybs. dan setelah interogasi singkat, ybs mengaku dan memang merasa tidak sanggup lagi meneruskan sekolah--gak ke-otak-an / teu kauteukan kata orang sunda.

Kalo saja bentuk UAN bisa dilakukan online (tentunya oleh badan yang diberi akses) maka kalo ada siswa/mahasiswa yang diragukan kejujuran UANnya, pihak sekolah/kampus bisa mengadakan test khusus untuk membuktikan kecurigaan itu.

Eh, kalo kasus terburuknya adalah: ternyata sebetulnya ybs. sebetulnya memang pake joki waktu UAN, terus saat di uji ulang nilainya bagus gimana? Ya, udah, menurut saya sih ybs tetap layak untuk meneruskan pendidikannya seperti biasa. 'Lho! Kok?

Gini, mari kita kembali merenungkan hakekat ujian yang merupakan bentuk standardisasi, bukan pilihan hidup mati seperti sekarang: Kalo sekarang gak lulus, berarti 'you goblok dan apes seumur-umur. Padahal yang lulus juga belum tentu hidupnya sejahtera ya?

Ah, kenapa kita jadi bingung. Penyelewengan itu pasti tetap ada, tugas semua orang lah untuk selalu menekan dan menyulitkan penyelewengan itu. Bahkan hal ini yang bisa jadi bahan penelitian orang-orang pinter di bidang biometric untuk menemukan metoda identifikasi individual yang sulit dijebol.


Closing sentences:
  1. Kalo UAN susulan bisa diadakan dalam bentuk ujian online lewat komputer di kota kabupaten, banyak masalah bisa selesai dan sekaligus memicu banyak penelitian di wilayah e-education.
  2. Janganlah terlalu men-sakral-kan ujian yang diadakan negara dengan pelaksanaannya yang hanya 1 tahun sekali.
  3. Jangan buat hidup seseorang hancur karena satu ujian saja.
  4. Pendidikan harusnya jangan terpaku pada umur: 6 taun SD, 12 taun SMP, 15 taun SMA, 18 taun kuliah. Saya ingat film "Patch Adam" yang dibintangi Robin William, kisah nyata tentang seorang laki-laki yang telah berumur (bahkan sempat dirawat di RS Jiwa) masuk sekolah kedokteran dan walaupun "melawan" metoda pendidikan kedokteran standar, tetap bisa lulus jadi dokter, bahkan kliniknya sangat terkenal karena penekanannya pada empati pada semua pasiennya.
OK, sudah dulu ya...

"the only good is knowledge, and the only evil is ignorance"-Socrates (469-399 SM)

This page is powered by Blogger. Isn't yours?